Kamis, 29 Desember 2016

Senioritas dalam Organisasi dan Budaya Masyarakat

Sebelum membahas lebih dalam, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu, apakah yang dimaksud dengan senioritas.

Senioritas adalah perbedaan status yang dikelompokkan berdasarkan usia dan jenjang pengalaman. Di Jepang contohnya, untuk menduduki suatu jabatan yang tinggi diperlukan lamanya pengalaman bekerja di suatu perusahaan atau organisasi yang sama. Sistem ini dinamakan Sistem Nenkō (年功序列) yang dibaca nenkō joretsu. Keuntungan sistem ini adalah memungkinkan para karyawan yang lebih tua untuk mencapai tingkat gaji yang lebih tinggi sebelum pensiun, dan mereka biasanya membawa lebih banyak pengalaman kepada jajaran eksekutif. Kerugiannya adalah sistem ini tidak mendukung suatu bakat-bakat atau keahlian yang sebenarnya dapat  dijajarkan dengan orang yang berpengalaman. Sistem ini juga tidak menjamin atau bahkan berupaya untuk menempatkan orang yang tepat pada pekerjaan yang tepat.

Related image

Nah lalu dibudaya Indonesia sendiri apakah kita masih menggunakan sistem seperti itu? Menurut saya tentu “masih”. Mungkin tidak harus saya jelaskan alasannya kenapa saya berpendapat demikian. Saya yakin anda juga tau maksud saya. Sudah banyak contoh-contohnya disekitar kita bukan?

Sekarang kembali ke pembahasan, sistem seperti ini “PENTING atau TIDAK?” Ya tentu penting. Sekarang begini saja, anda tahu kenapa Negara-negara di Asia terkenal dengan orang-orangnya yang ramah? Mungkin dapat saya katakan. Karena rasa saling hormat dengan sesama serta menghargai senior atau orang yang lebih tua. Lalu bagaimana dengan Negara barat disana? Terlihat jelas bukan perbedaannya dengan budaya Asia?  Sekarang saya ambil contoh dari bahasa yang universal dari Negara Barat, yaitu Bahasa Inggris. Untuk menunjuk/berbicara dengan seseorang yang sederajat  bahkan yang lebih tua, ungkapan “You” digunakan untuk semua tingkatan itu. Misalnya, Mom, I don’t understand what YOU talking about, indeed!”  Di Indonesia sendiri, jika kita berbicara dengan orang yang lebih tua, kita diajarkan untuk mengatakan untuk memanggil sebutan untuk usianya. Misalnya “Jika bapak mau, saya bisa membantu kok”. Atau di Jepang yang mengungkapkan sebutan seseorang dengan akhiran san, dono, dan sama. Misalnya anak kecil yang memanggil  orang yang lebih tua “etto, kore wa Alv-san no borupen desu ka? (apakah ini pulpen milik tuan Alv?).  Terlihat jelas bukan? Matumoto dan Juang (2004) mengatakan hubungan timbal balik antara budaya dan bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satu pun budaya yang dapat dipahami tanpa memahami bahasanya, begitu pula sebaliknya. Melalui bahasa, kita dapat memahami bagaimana pola pikir manusia dari suatu budaya tertentu. Hal ini juga membantu kita untuk memahami bagaimana ia memandang dunia.

Selain bahasa,  di Negara Barat sana seperti Amerika dan Inggris, mereka menganggap semua orang itu sederajat. Kalau pun derajat nya berbeda itu soal kekuasaan. Di Asia perbedaan derajat umumnya karena pengalaman dan usia. Untuk orang Asia seperti kita, menghormati orang yang lebih tua/berpengalaman adalah hal yang wajib. Atas dasar itu lah mengapa orang Asia dicap sebagai orang yang ramah dan sopan. Dengan sesama saja kita diajarkan untuk saling menghormati, apalagi dengan orang yang lebih tua. Ini adalah kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri kita, namun banyak orang yang menolak tentang senioritas. Saya sendiri pun tidak menentang tentang adanya senioritas, yang saya tentang adalah oknum-oknum yang memanfaatkan senioritas sebagai alat untuk berkuasa. Untuk itu, perlu kita pahami arti dari senioritas yang sebenarnya, sehingga kita tahu bahwa senioritas adalah konsep untuk saling menghormati, bukan alat untuk saling menyakiti.

Referensi:
Tim Tangga Eduka.  (2015). Siap tempur SBMPTN saintek soshum 2016: Strategi dahsyat tembus PTN favorit.  Jakarta: Tangga Pustaka.
Sarwono, S. W. (2014). Psikologi lintas budaya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.