Sebelum membahas lebih dalam, saya ingin menjelaskan
terlebih dahulu, apakah yang dimaksud dengan senioritas.
Senioritas adalah perbedaan status yang dikelompokkan
berdasarkan usia dan jenjang pengalaman. Di Jepang contohnya, untuk menduduki suatu
jabatan yang tinggi diperlukan lamanya pengalaman bekerja di suatu perusahaan
atau organisasi yang sama. Sistem ini dinamakan Sistem Nenkō (年功序列) yang
dibaca nenkō
joretsu. Keuntungan sistem ini adalah
memungkinkan para karyawan yang lebih tua untuk mencapai tingkat gaji yang
lebih tinggi sebelum pensiun, dan mereka biasanya membawa lebih banyak
pengalaman kepada jajaran eksekutif. Kerugiannya adalah sistem ini tidak
mendukung suatu bakat-bakat atau keahlian yang sebenarnya dapat dijajarkan dengan orang yang berpengalaman. Sistem
ini juga tidak menjamin atau bahkan berupaya untuk menempatkan orang yang tepat
pada pekerjaan yang tepat.
Nah lalu dibudaya Indonesia sendiri apakah kita masih menggunakan sistem seperti itu? Menurut saya tentu “masih”. Mungkin tidak harus saya jelaskan alasannya kenapa saya berpendapat demikian. Saya yakin anda juga tau maksud saya. Sudah banyak contoh-contohnya disekitar kita bukan?
Sekarang kembali ke pembahasan, sistem seperti ini “PENTING
atau TIDAK?” Ya tentu penting. Sekarang begini saja, anda tahu kenapa
Negara-negara di Asia terkenal dengan orang-orangnya yang ramah? Mungkin dapat
saya katakan. Karena rasa saling hormat dengan sesama serta menghargai senior
atau orang yang lebih tua. Lalu bagaimana dengan Negara barat disana? Terlihat
jelas bukan perbedaannya dengan budaya Asia?
Sekarang saya ambil contoh dari bahasa yang universal dari Negara Barat,
yaitu Bahasa Inggris. Untuk menunjuk/berbicara dengan seseorang yang sederajat bahkan yang lebih tua, ungkapan “You” digunakan untuk semua tingkatan
itu. Misalnya, Mom, I don’t understand what YOU talking about, indeed!” Di Indonesia sendiri, jika kita berbicara
dengan orang yang lebih tua, kita diajarkan untuk mengatakan untuk memanggil
sebutan untuk usianya. Misalnya “Jika bapak mau, saya bisa membantu kok”. Atau di
Jepang yang mengungkapkan sebutan seseorang dengan akhiran san, dono, dan sama.
Misalnya anak kecil yang memanggil orang
yang lebih tua “etto, kore wa Alv-san no borupen desu ka? (apakah ini pulpen
milik tuan Alv?). Terlihat jelas bukan?
Matumoto dan Juang (2004) mengatakan hubungan timbal balik antara budaya dan
bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satu pun budaya yang dapat dipahami tanpa
memahami bahasanya, begitu pula sebaliknya. Melalui bahasa, kita dapat memahami
bagaimana pola pikir manusia dari suatu budaya tertentu. Hal ini juga membantu
kita untuk memahami bagaimana ia memandang dunia.
Selain bahasa, di
Negara Barat sana seperti Amerika dan Inggris, mereka menganggap semua orang
itu sederajat. Kalau pun derajat nya berbeda itu soal kekuasaan. Di Asia
perbedaan derajat umumnya karena pengalaman dan usia. Untuk orang Asia seperti kita, menghormati orang yang lebih tua/berpengalaman adalah hal yang wajib. Atas dasar itu lah mengapa orang Asia dicap sebagai orang yang ramah dan sopan. Dengan sesama saja kita diajarkan untuk saling menghormati, apalagi dengan orang yang lebih tua. Ini adalah kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri kita, namun banyak orang yang menolak tentang senioritas. Saya sendiri pun tidak menentang tentang adanya senioritas, yang saya tentang adalah oknum-oknum yang memanfaatkan senioritas sebagai alat untuk berkuasa. Untuk itu, perlu kita pahami arti dari senioritas yang sebenarnya, sehingga kita tahu bahwa senioritas adalah konsep untuk saling menghormati, bukan alat untuk saling menyakiti.
Referensi:
Tim Tangga Eduka.
(2015). Siap tempur SBMPTN saintek soshum 2016: Strategi dahsyat tembus
PTN favorit. Jakarta: Tangga Pustaka.
Sarwono, S. W. (2014). Psikologi lintas budaya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.